Pemilih hijau: Seberapa penting isu lingkungan dan transisi energi dalam kontestasi Pemilu 2024?

Ratna Hayati dan keluarganya
Keterangan gambar,Ratna Hayati dan keluarganya menghadiri aksi isu krisis iklim dan pencemaran lingkungan hampir setiap tahun

Ratna Hayati dan suaminya, Kukuh Prabowo, datang ke aksi Global Climate Strike September silam bersama dengan tiga anak mereka. Keluarga yang mengenakan kaos hijau seragam itu datang dengan harapan dapat membuka mata masyarakat terhadap krisis iklim.

“Pokoknya setiap kali ada [Climate] Strike, kami hadir. Karena memang miris banget kondisi bumi saat ini,” kata Ratna saat ditemui BBC News Indonesia di tengah keramaian aksi tersebut.

Di belakang mereka, terdapat instalasi cerobong asap yang terbuat dari kardus. Karya itu dihias supaya menyerupai cerobong PLTU yang mengeluarkan limbah asap yang mencemari udara.

Saat itu, polusi udara di Jakarta sedang menjadi topik yang ramai diperbincangkan di media sosial. Ratna sendiri merasakan dampaknya ketika ia dan keluarganya terjangkit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Saya dan keluarga sempat sakit satu bulan, dan kata dokter karena polusi. Jadi memang terasa banget,“ kata Ratna yang berusia 44 tahun.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar anak-anaknya mengenakan masker saat bermain ke taman.

Keterangan video,Lingkungan menjadi salah satu isu yang dianggap penting oleh pemilih muda dalam Pemilu 2024.

Ratna mengaku mulai aktif peduli dengan isu lingkungan sejak ia menjadi seorang ibu dari empat anak – anak bungsunya tinggal di rumah saat mengikuti aksi. Ia berharap kondisi bumi bisa lebih baik demi masa depan mereka.

“Saya memikirkan anak-anak ini dan anak cucu saya, bumi ini mau kita warisi apa untuk mereka. Sepertinya bumi semakin usang, jadi generasi kita yang harus mulai berubah,” ungkap Ratna.

Ratna dan keluarga bukanlah satu-satunya yang peduli akan kondisi lingkungan.

Manajer Program Transisi Energi Berkeadilan dari Yayasan Indonesia Cerah, Sholahudin Al Ayubi, mengatakan kesadaran publik terhadap isu lingkungan dan dampaknya terhadap kelangsungan hidup di bumi meningkat dalam tiga tahun terakhir.

”Ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa dan hal-hal yang kita rasakan sehari-hari, cuaca panas ekstrem, polusi dan sebagainya,” kata Al Ayubi.

Yayasan Indonesia Cerah melakukan riset bertajuk ‘Analisis Big Data – Rekam Jejak Capres-Cawapres 2024 dalam Isu Iklim dan Transisi Energi’.
Keterangan gambar,Yayasan Indonesia Cerah meluncurkan riset bertajuk ‘Analisis Big Data – Rekam Jejak Capres-Cawapres 2024 dalam Isu Iklim dan Transisi Energi’ dengan menghadirkan perwakilan dari tim ketiga capres.

Berdasarkan riset yang dilakukan Indikator Politik dan Yayasan Indonesia Cerah pada 2021 lalu, 82% dari 4.020 responden – yang merupakan Gen Z dan Milennial – memandang isu pencemaran lingkungan sebagai isu yang serius dan membuat mereka khawatir.

Artinya, ada peningkatan dari apa yang disebut dengan ‘pemilih hijau’, khususnya dari kalangan generasi muda.

Lantas, bagaimana masing-masing capres menyikapi isu lingkungan dan apakah sudah menjadi prioritas dalam Pilpres 2024?

Seberapa sering para capres-cawapres membahas isu iklim dan transisi energi?

Dalam riset bertajuk ‘Analisis Big Data – Rekam Jejak Capres-Cawapres 2024 dalam Isu Iklim dan Transisi Energi’, Indonesia Cerah dan Markdata menemukan bahwa kedua isu tersebut belum menjadi isu utama menjelang kontestasi Pilpres 2024.

Penelitian itu menggunakan teknik analisis konten dengan melakukan klasifikasi pembobotan kata kunci yang berhubungan dengan isu lingkungan, dengan tiga kategori yakni basic, moderate, dan advanced.

Teknik ini dilakukan untuk menilai seberapa sering dan dalam konteks apa berbagai kata kunci muncul dalam data yang dikumpulkan dalam rentan waktu satu tahun, yaitu 25 Oktober 2022 – 25 Oktober 2023.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa pasangan nomor urut 1, yakni Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, paling sering membicarakan isu iklim dan transisi energi, baik dalam pemberitaan di media massa (585 temuan) maupun dokumen visi dan misi (64 temuan).

Namun, bobot narasi kedua isu tersebut sebagian besar masuk kategori basic, dengan istilah yang paling banyak disebut berupa “kendaraan listrik”, “polusi udara”, dan “kualitas udara”.

Juru Bicara Krisis Iklim Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN), Irvan Pulungan, mengatakan bahwa bahkan sebelum pencalonan KPU resmi, Anies sudah mengangkat krisis iklim sebagai isu yang diprioritaskan.

Ia sendiri diberi tugas untuk memastikan krisis iklim diberi ruang dalam visi-misi yang kemudian akan diintegrasi ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) jika paslon terpilih.

“Isu perubahan iklim penting menjadi bagian dari kontestasi elektoral. Bahkan, kita melihat ada proporsi debat antarkandidat yang bicara energi dan lingkungan,” katanya.

Anies Baswedan
Keterangan gambar,Capres nomor urut 1, Anies Baswedan sering mengangkat topik kualitas udara, polusi udara dan kendaraan listrik dalam pembahasan isu lingkungan.

Sementara, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, merupakan paslon yang paling sedikit membicarakan isu iklim dan transisi energi (75 temuan), baik dalam pemberitaan media massa maupun dalam visi-misi (20 temuan).

Prabowo-Gibran dalam pemberitaan sering menyebut istilah “kendaraan listrik” dan “PLTS”. Sementara, dalam visi dan misi mereka, istilah yang paling banyak digunakan adalah “ekonomi hijau” dan “perubahan iklim”, yang masuk ke dalam kategori basic-moderate.

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa ia tidak sepakat dengan metode penelitian Indonesia CERAH yang hanya menilai dari kata-kata kunci yang tersedia.

Sebab, menurut Drajad, tim Prabowo-Gibran justru menaruh perubahan iklim sebagai tantangan strategis pertama, bahkan di atas konflik geopolitik.

“Artinya, itu sudah menunjukkan bahwa kami memang melihat perubahan iklim dan mitigasi sebagai tantangan strategis terbesar buat Indonesia ke depan. Dan itu kita wujudkan turunannya,” kata Drajad.

Prabowo Subianto
Keterangan gambar,Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, sering menyebut istilah “kendaraan listrik” dan “PLTS” dalam pemberitaan.

Jika dibandingkan dengan dua paslon lain, pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memiliki bobot kata kunci yang paling banyak di tingkat moderate saat membahas isu iklim dan transisi energi.

Meskipun dari segi jumlah tidak terlalu banyak dalam pemberitaan (99 temuan) maupun visi-misi (20 temuan). Isu “PLTS” menjadi yang paling banyak disebut Ganjar-Mahfud dalam pemberitaan, sementara “ekonomi hijau” paling banyak muncul dalam visi-misi.

Pakar Lingkungan dari Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Alexander Sonny Keraf, tidak setuju dengan sebutan bahwa kata-kata yang digunakan dalam visi-misi sebagian besar hanya berada di tingkat moderate.

Ia mengatakan bahwa dalam judul visi-misi, mereka ingin mewujudkan negara maritim yang adil dan lestari. Sehingga, pelestarian dan berkelanjutan lingkungan menjadi “roh dari seluruh visi-misi”.

“Karena tidak bisa diragukan bahwa kita melihat iklim sebagai sesuatu yang sangat serius dan semua negara, baik di bidang ekonomi, sosial dan seterusnya itu mau tidak mau harus mengangkat isu iklim dan lingkungan hidup,” ungkap Sonny.

Ganjar Pranowo
Keterangan gambar,Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, sering menyebut PLTS dalam pembahasan tentang isu pencemaran lingkungan.

Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, dosen Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM dengan keahlian di bidang tata kelola industri ekstraktif menilai bahwa setiap tahun pemilu, isu lingkungan masih belum terlihat menjadi prioritas bagi para pemilih di Indonesia.

“Pemenuhan kebutuhan hidup dan kemudian politik identitas juga masih mendominasi. Kemudian isu yang terkait dengan isu lingkungan, menurut saya, sayangnya masih menjadi isu yang terbatas di kalangan tertentu, yakni akademisi dan aktivis,” kata Poppy.

Hal tersebut, sambungnya, berhubungan dengan kesenjangan Indonesia dengan negara-negara lain – khususnya negara maju – yang sudah lebih sejahtera dan siap untuk mulai mengembangkan kebijakan-kebijakan iklim dan transisi energi.

Sedangkan Indonesia masih perlu mengejar pertumbuhan ekonomi dan perkembangan negara dengan menangani sejumlah tantangan seperti kebutuhan pangan, ketahanan energi dan stabilitas ekonomi.

“Indonesia punya dilema; di satu sisi kita masih punya kebutuhan untuk menyejahterakan masyarakat, yang boleh jadi, upaya tersebut berbenturan dengan kebutuhan dan kepentingan kita untuk menjaga lingkungan,” ujarnya.

‘Konflik sosial akibat perebutan ruang SDA’

Manager Kajian Hukum dan Kebijakan LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Satrio Manggala mengatakan semua pasangan calon menunjukkan kesadaran akan dampak lingkungan dalam visi-misi, mulai dari pembangunan ekonomi hingga transisi energi.

Namun, masih ada beberapa hal yang menjadi catatan khusus Walhi terkait visi-misi ketiga kandidat.

Pertama, kekhawatiran Walhi bahwa akan ada lebih banyak proyek skala besar yang dapat berdampak buruk pada kondisi ekologis lingkungan. Meskipun, proyek-proyek tersebut mungkin dibungkus dengan tujuan yang ramah lingkungan, seperti untuk transisi energi.

“Prediksinya Walhi akan banyak terjadi pertentangan konflik sosial akibat perebutan ruang sumber daya alam akibat proyek-proyek besar transisi energi,” kata Satrio.

Kedua, ketiga calon pasangan dinilai belum menawarkan solusi struktural yang efektif untuk menangani masalah kemiskinan karena masalah utama dari kemiskinan terkait distribusi akses lahan yang sering kali dirampas untuk proyek nasional sehingga timbul konflik lahan.

Ketiga, Satrio menyebut program-program dalam visi-misi para paslon belum transparan dalam mengutarakan solusi-solusi yang mereka tawarkan untuk transisi energi dan pengelolaan sumber daya alam.

Layar LCD di panggung Global Climate Strike 2023 menyoroti permasalahn pembukaan lahan di Indonesia.
Keterangan gambar,Layar LCD di panggung Global Climate Strike 2023 menyoroti permasalahan pembukaan lahan di Indonesia.

“Tiga pasangan calon jelas masih menekankan pada potensi untuk ekstraksi sumber daya alam di Indonesia. Karena belum terlihat sejauh mana road map [visi-misi] sebetulnya mereka melihat persoalan lingkungan. Ini menjadi pintu utama yang harus dibereskan.”

Dalam visi-misi paslon Anies-Muhaimin, ia menyoroti istilah industrialisasi pertanian yang tertuang dalam Agenda Misi 1. Satrio mengatakan program tersebut berpotensi merugikan petani karena akan diserahkan ke mekanisme pasar bebas dan ekspansi yang rakus lahan.

“Anies mau mewujudkan keadilan ekologis, itu menarik tetapi ketika dicek, itu masih mengacu pada industrialisasi sektor pertanian yang sama saja bohong. Karena pakai imajinasi lama yang terbukti gagal dan selalu dikritisi,” kata Satrio.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*