‘Kalau saya tidak maju bagaimana kasus-kasus tanah adat yang diklaim negara?’ – Kisah Aleta Baun, satu-satunya caleg DPR yang diutus masyarakat adat Tiga Batu Tungku

Aleta Kornelia Baun maju sebagai satu-satunya utusan masyarakat adat Tiga Batu Tungku di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Keterangan gambar,Aleta Kornelia Baun maju sebagai satu-satunya utusan masyarakat adat Tiga Batu Tungku di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Aleta Kornelia Baun maju sebagai satu-satunya utusan masyarakat adat Tiga Batu Tungku di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk bertarung memperebutkan kursi legislatif di Senayan.

Perempuan pejuang lingkungan dari tanah Mollo ini dititipkan satu misi jika terpilih nanti: meloloskan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang selama sepuluh tahun mangkrak di DPR.

Tapi pertempuran Aleta mendapatkan setidaknya 100.000 suara di Daerah Pemilihan (Dapil) NTT II bukan perkara enteng apalagi pakai dana sendiri yang tak seberapa besar.

Sejak kampanye dimulai akhir November lalu, ia keliling kampung dengan sepeda motor dan menggedor satu demi satu pintu rumah warga – mengajak mereka menyatukan kekuatan memilih ‘anak Mollo’.

Diutus masyarakat adat Tiga Batu Tungku

Di ‘jantung’ suara Dapil NTT II yakni Kabupaten Timor Tengah Selatan, spanduk dan baliho yang memajang muka para calon anggota legislatif (caleg) bertebaran di sepanjang jalan.

Para caleg itu tahu jika bisa menguasai kabupaten ini – yang memiliki jumlah pemilih hampir 500.000 orang – maka sudah pasti mendapatkan tiket menuju Senayan.

Tapi dari 123 caleg yang bertarung di sana, nyaris tak ditemukan ‘wajah Aleta Kornelia Baun’ terpancang di pertigaan jalan.

Perempuan 58 tahun ini berkata ada beberapa pertimbangan mengapa tidak berkampanye seperti kebanyakan caleg lainnya. Namun yang utama, kata dia: “Saya merasa manusia seperti monyet yang tergantung di banyak pohon.”

“Kalau perbuatan saya baik dan memenangkan hati banyak orang pasti [warga] bangga dengan saya. Tapi kalau tidak berbuat sesuatu dan pajang muka, mereka akan bilang ‘orang ini siapa?'”.

Aleta Baun maju sebagai caleg DPR RI dari Dapil NTT II dari Partai Perindo.

Aleta Baun bukan orang baru di Kabupaten Timor Tengah Selatan – khususnya Mollo.

Ia lahir dan besar di sana.

Di tanah kelahirannya pula, Aleta memimpin gerakan ratusan warga – khususnya perempuan – untuk mengusir perusahaan tambang marmer yang telah merusak hutan sakral mereka di Gunung Mutis.

Sebab gara-gara tambang, Mollo dan daerah sekitar sempat mengalami krisis air. Bahkan komoditas buah apel dan jeruk yang dulu menjadi andalan, kandas.

Karena kegigihannya menjaga lingkungan, dia mendapat penghargaan Goldman Environment Prize pada 2013 dan Yap Thiam Hien Award tahun 2016.

Pada Pemilihan umum legislatif (Pileg) 2024, Aleta Baun ditunjuk oleh masyarakat adat Tiga Batu Tungku yang terdiri atas suku Mollo, Amanatun, dan Amanuban maju sebagai caleg DPR RI.

Ketua adat di Desa Tunua, Kecamatan Mollo Utara, Petrus Oktavianus Bifel.
Keterangan gambar,Ketua adat di Desa Tunua, Kecamatan Mollo Utara, Petrus Oktavianus Bifel.

Proses penunjukkan itu dimulai sekitar Maret tahun lalu.

Para tetua adat berkumpul dan berdiskusi untuk mengutus satu orang melaju ke Senayan.

Niatnya sederhana, membawa aspirasi mereka agar bisa mengembalikan tanah ulayat yang saat ini dikuasai pemerintah, kata Ketua adat di Desa Tunua, Kecamatan Mollo Utara, Petrus Oktavianus Bifel.

“Harapan kami ke depan bisa dibebaskan [tanah ulayat] oleh pemerintah supaya hak-hak masyarakat terpenuhi,” ujarnya kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pertengahan Januari silam.

Tanah adat seluas 100 hektare yang berada di tiga wilayah perbatasan di TTS itu sudah dimiliki nenek moyang mereka bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia.

Tapi kemudian diambil paksa oleh kolonial Belanda dan akhirnya jatuh ke tangan pemerintah Indonesia.

Aleta Baun bersama warga di Mollo Utara yang mendukungnya melaju ke Senayan.
Keterangan gambar,Aleta Baun bersama warga di Mollo Utara yang mendukungnya melaju ke Senayan.

Pada tahun 1960-1980-an masyarakat setempat pernah mencoba menanam di bekas tanah ulayat mereka namun ditangkap aparat karena dituduh masuk tanpa izin.

“Menurut kami, Belanda sudah kembali dia punya tempat kenapa kami tidak bisa olah tanah ini? Apakah Belanda masih menguasai negara kita?” ungkapnya kesal.

“Sekarang kami bisa menanam sedikit demi sedikit. Tapi kami ingin diberikan hak penuh mengelola. Agar siapa saja yang datang menegur kami bisa punya hak membela diri…”

Ketua adat Petrus Oktavianus berkata Aleta Baun adalah sosok yang tepat duduk di kursi DPR karena separuh hidupnya berjuang untuk masyarakat.

Ia pun berjanji bakal menyatukan suara warga agar memilih kandidat nomor urut 6 dari Partai Perindo ini pada 14 Februari mendatang.

“Dia tidak korupsi dan benar-benar memperjuangkan rakyat. Khusus di Mollo, Aleta berjuang menghentikan [tambang] marmer. Karena itu kami menunjuk Aleta dan bersatu memilih dia.”

‘Saya tidak punya dana kampanye’

Mama Aleta – sapaan akrabnya – bercerita dirinya tak langsung mengiyakan permintaan para tetua adat Tiga Batu Tungku.

Ia bimbang lantaran tak punya dana untuk kampanye dan belum ada partai sebagai kendaraan politik. Hitungannya untuk menembus ke Senayan setidaknya butuh Rp2-3 miliar.

Tapi berjalannya waktu, Partai Perindo meminangnya sebagai caleg mewakili Dapil NTT II.

Selama empat bulan, dia bergumul dan akhirnya bersedia maju.

“Kenapa saya maju dengan tanpa duit? Karena tidak ada orang yang bisa maju untuk menggantikan saya mengusung agenda masyarakat adat,” ucap Mama Aleta.

Baliho para calon anggota legislatif bertebaran di sepanjang jalan dan pasar di Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
Keterangan gambar,Baliho para calon anggota legislatif bertebaran di sepanjang jalan dan pasar di Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

“Persoalan [masyarakat adat] ini jangka panjang dan cuma saya satu-satunya yang punya kemampuan di kabupaten ini.”

Kampanye Aleta Baun berbeda dari caleg-caleg lain.

Tak ada spanduk atau baliho.

Setiap hari, dia bersama tim kecilnya – yang berjumlah enam orang – keliling kampung.

Sebuah tas kain yang selalu dibawa menjadi bekalnya bertemu masyarakat. Isinya: kopi, gula, dan sirih pinang.

Sirih pinang menjadi ‘taktik’ Mama Aleta agar diterima warga. Sirih pinang, bagi orang Timor adalah simbol pemersatu.

“Buat baliho makan anggaran, kenapa tidak beli gula, kopi, atau makan sama-sama masyarakat… itu masih bagus daripada buat baliho tapi banyak orang susah di kampung.”

Aleta Baun mengaku tak punya modal besar untuk kampanye. Setiap hari dia keliling kampung dengan sepeda motor bersama seorang anggota timnya.
Keterangan gambar,Aleta Baun mengaku tak punya modal besar untuk kampanye. Setiap hari dia keliling kampung dengan sepeda motor bersama seorang anggota timnya.

Pagi itu kami menemaninya kampanye ke kecamatan Mollo Selatan dan Utara.

Sebelum berangkat, dia mempersiapkan apa-apa saja yang hendak dibawa. Dilanjutkan dengan sembahyang dan berdoa.

Satu hal yang menjadi ciri khasnya adalah mengikat kepala dengan kain tenun.

Setelah memastikan semuanya siap, dia diboncengi Matheos Sunbanu – anggota timnya – menyusuri kampung.

Kadang kalau di tengah perjalanan ada warga berkumpul, dia berhenti dan mulai berkampanye.

“Kampanye saya door to door dan ketemu orang di mana saja pasti akan kampanye. Jadi saya tidak memilih tempat… kebun, ladang, dapur, kayu api, timba air, saya melakukan kampanye di situ.”

Mama Aleta -sapaan akrabnya- mengatakan kampanye dari ke rumah ke rumah lebih efektif ketimbang memajang baliho.
Keterangan gambar,Mama Aleta -sapaan akrabnya- mengatakan kampanye dari ke rumah ke rumah lebih efektif ketimbang memajang baliho.

Di Desa Biloto, Kecamatan Mollo Selatan, Mama Aleta berhenti di depan rumah Yohanes Nenemeta.

Kepada tuan rumah, ia mengucapkan, “syalom…” dan saling menempelkan hidung – orang setempat menyebutnya cium hidung yang merupakan tradisi orang Timor yang berarti persaudaraan.

Mereka lantas berbincang-bincang dalam bahasa lokal sembari menyantap sirih pinang.

Yohanes bercerita selain Aleta Baun, tidak ada caleg lain yang datang menemui warga. Paling-paling hanya tim memberikan kalender bergambar muka sang caleg.

Tapi cara seperti itu, tak mempan bagi warga, katanya.

“Yang penting bagi kami di kampung harus melekat… menyatu dengan masyarakat.”

“Kami lebih suka kalau [caleg] datang, ketemu, dan makan sirih pinang. Cukup dengan itu, bukan kasih uang.”

Alat kampanye yang dipakai Aleta Baun hanya kalender, stiker, dan membagikan Kartu Tanda Anggota (KTA) berasuransi yang bisa diklaim.
Keterangan gambar,Alat kampanye yang dipakai Aleta Baun hanya kalender, stiker, dan membagikan Kartu Tanda Anggota (KTA) berasuransi yang bisa diklaim.

Kira-kira setelah sepuluh menit lamanya Mama Aleta pamit pada Yohanes dan istri untuk melanjutkan perjalanan kampanyenya.

Tak seberapa jauh, di pinggir jalan yang berdekatan dengan sungai, Mama Aleta kembali berhenti.

Dia menyapa warga, memberikan sirih pinang, dan membagi-bagikan kalender beserta Kartu Tanda Anggota (KTA) berasuransi yang bisa diklaim jika pemilihnya mengalami kecelakaan atau meninggal.

Tak ada janji-janji politik yang diumbar.

Ia menilai warga sudah jengah pada janji manis caleg yang tak dipenuhi.

Di Desa Bijaepunu, Kecamatan Mollo Utara, Aleta Baun hanya berpesan agar memilih ‘anak Mollo’ mewakili di DPR RI.

“Jadi saya mengharapkan bapa dong bantu kami kasih tahu keluarga pilih orang yang bisa pulang kampung…” katanya di hadapan warga yang tengah berkumpul.

Butuh berapa banyak suara agar menang?

Lumbung suara terbesar Aleta Baun ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Kabupaten ini terdiri dari 32 kecamatan, 12 kelurahan, dan 266 desa.

Jumlah penduduk TTS berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 sebanyak 465.970 jiwa.

Bila ditinjau dari penyebarannya, total penduduk TTS terbesar terdapat di Kecamatan Kota Soe dan Amanuban Selatan.

Aleta berkata, ia manargetkan 100.000 suara di Pileg nanti.

Dalam berkampanye, Mama Aleta tak hanya ke rumah-rumah warga, tapi siapa pun yang ditemui di jalan akan didatangi.
Keterangan gambar,Dalam berkampanye, Mama Aleta tak hanya ke rumah-rumah warga, tapi siapa pun yang ditemui di jalan akan didatangi.

Kendati sebetulnya ia cukup mendapatkan 80.000 suara saja untuk menang.

Sejauh ini dia mengatakan sudah mendatangi 50% daerah pemilihan. Sisanya selain TTS, Aleta bakal menyasar wilayah lain di antaranya Kota Kupang, Belo, Malaka, Sabu Raijua, dan Rote Ndao.

“Kalau berangkat pagi, kami bisa menyambangi 10 sampai 30 rumah. Tapi kalau duduk dan bicara agak lama, bisa dapat delapan sampai sepuluh rumah saja,” ujarnya sembari beristirahat di bawah pohon rindang.

Mama Aleta terlibat diskusi dengan dua orang warga setempat.
Keterangan gambar,Mama Aleta terlibat diskusi dengan dua orang warga setempat.

Untuk menghemat waktu dan biaya, Aleta bersama tim biasanya menghabiskan dua sampai tiga hari di lapangan. Itu mengapa kadang kala dia numpang menginap di rumah warga.

Sebab kalau harus pulang hari, katanya, “buang-buang tempo”.

Belum lagi medan yang berat.

Jangan bayangkan jalan di sepanjang Kecamatan Mollo Utara mulus.

Warga bercerita sudah 30 tahun jalanan di sini hancur berbatu. Kalau hujan, tak ada kendaraan atau angkutan desa yang bisa melintas.

Hampir sebulan kampanye, Aleta mengaku sudah menghabiskan uang sekitar Rp400 juta.

Uang dari kantong pribadinya itu paling banyak digunakan untuk beli bensin, cetak kalender, konsumsi perjalanan, isi pulsa telepon, dan membeli keperluan sirih pinang.

‘Semangat saya hampir habis, tapi tak bisa mundur’

Di tengah hamparan sungai yang kering, Aleta Baun rehat sejenak dan duduk di atas batu.

Ibu tiga anak ini lalu bercerita bagaimana energinya hampir habis karena berurusan dengan politik.

Kadang, ia bercerita, terlintas di pikiran ingin berhenti berkampanye tapi tidak bisa karena “warga sudah menggantungkan harapan padanya.”

“Saya sebenarnya tidak mau, tapi ini desakan masyarakat… kalau saya tidak maju bagaimana kasus-kasus yang ada? Ada banyak kasus tanah-tanah adat diklaim negara,” ucap sosok yang suka bicara blak-blakan ini.

Pejuang lingkungan ini berkata, Pileg 2024 akan menjadi medan perang terakhirnya di dunia politik.
Keterangan gambar,Pejuang lingkungan ini berkata, Pileg 2024 akan menjadi medan perang terakhirnya di dunia politik.

“Dan itu desakan masyarakat adat, jadi saya paksakan diri maju dengan hati yang berat,” sambungnya sambil menghela napas dan raut wajah yang nampak kelelahan.

Satu hal yang menguatkan dan membuatnya bertahan adalah rasa tanggung jawab sebagai pejuang lingkungan.

Selain itu pertimbangan tidak ada orang lain di Mollo yang bisa menggantikannya memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di arena politik.

“Belum ada penerus yang menggantikan saya maju untuk DPR memperjuangkan masyarakat adat dengan agenda begitu banyak.”

Di Dapil II NTT ada 123 calon anggota legislatif DPR RI yang bertarung agar bisa lolos ke Senayan.
Keterangan gambar,Di Dapil II NTT ada 123 calon anggota legislatif DPR RI yang bertarung agar bisa lolos ke Senayan.

Aleta Baun sebetulnya sudah pernah menduduki kursi DPRD Provinsi NTT pada periode 2014-2019.

Ia memilih terjun ke politik karena merasa lebih punya kekuatan untuk meramu atau mengintervensi sebuah kebijakan.

Dia pun tak perlu lagi ‘kucing-kucingan’ dengan kepala daerah lantaran dituduh sebagai provokator dan pengkhianat negara.

“Kalau murni pejuang [aktivis] dan tidak berpolitik sulit… untuk ketemu bupati berdiskusi soal hak-hak rakyat tidak didengar.”

Pada Pileg 2019 lalu, Aleta maju sebagai caleg DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hanya saja, ia kalah karena suaranya digembosi oleh timnya sendiri.

Ini kali, dia kembali melaju dengan harapan bila duduk di Senayan bisa menggolkan beleid UU Masyarakat Adat.

Seperti apa rekam jejak Aleta Baun di DPRD dan seberapa besar peluangnya?

Pengamat politik yang juga Direktur Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, mengatakan Aleta Baun cukup vokal selama duduk di kursi DPRD Provinsi NTT.

Di beberapa kesempatan dia kerap berdiskusi dengan akademisi untuk membahas peraturan daerah.

Nyaris tak ada suara sumbang selama dia menjabat.

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang.
Keterangan gambar,Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang.

Itu mengapa Ahmad Atang menilai peluang Aleta Baun meraup suara di Dapil NTT II sudah tak diragukan lagi karena memiliki basis pemilih yang loyal.

Dia bukan orang yang lahir dari atas ke bawah, tapi dari bawah ke atas. Apalagi dia figur yang kuat membela kepentingan warga, itu artinya dia punya basis yang loyal,” katanya.

Karena alasan itu pula, Ahmad Atang memaklumi cara kampanye Aleta yang tak menebar baliho atau spanduk.

Berbeda dengan muka baru yang mencoba menarik suara di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Mereka perlu bahkan harus tampil sebanyak mungkin sebagai komunikasi publik.

“Dan Aleta tidak perlu mengumbar janji [politik] karena dia sudah bekerja mengadvokasi masyarakat. Kalau politisi yang mulai membangun massa, harus punya janji.”

Aleta Baun sudah pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi NTT pada periode 2014-2019.
Keterangan gambar,Aleta Baun sudah pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi NTT pada periode 2014-2019.

Tapi yang jadi persoalan, sambungnya, apakah Partai Perindo – yang menjadi kendaraan politik Aleta Baun – bisa lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sehingga bisa menyokong calegnya ke DPR RI.

Bersandar pada hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 27 Juli-7 Agustus 2023, hanya ada tujuh partai politik yang lolos ambang batas parlemen dalam simulasi Pemilu 2024.

Ambang batas yang ditetapkan pada Pileg 2024 sebesar 4%. Artinya setiap parpol harus memenuhi syarat minimal perolehan suara tersebut untuk bisa menempatkan wakilnya di DPR dan DPRD.

Kemudian Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Nasdem.

Adapun Perindo yang dinakhodai pengusaha Harry Tanoesoedibjo diprediksi hanya memperoleh 3,4% bersama dengan Partai Amanat Nasional.

“Karena itu saya heran kenapa keluar dari PKB dan masuk Perindo. Tapi sebagai orang politik, dia pasti punya keyakinan bahwa sekecil apa pun partai kalau berjuang bersama bisa [lolos].”

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Perindo sebetulnya sudah punya keterwakilan di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tinggal menempatkan wakilnya di DPR RI.

Kalau merujuk pada tingkat popularitas, kata Ahmad Atang, Perindo cukup dikenal karena sudah dua kali ikut pemilu.

Hanya bagaimana membesarkan nama partai dengan merekrut tokoh-tokoh beken agar diterima masyarakat.

Mengapa perlu ada perwakilan masyarakat adat duduk di DPR?

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan keputusan lembaganya memperluas partisipasi masyarakat adat di politik dicanangkan lewat kongres tahun 2007.

Waktu itu, mereka menilai persoalan yang menimpa masyarakat adat disebabkan pembangunan yang disebutnya sangat agresif lantaran merangsek hingga ke wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan orang adat langsung.

Bahkan sering kali, warga adat tidak tahu wilayahnya dimasuki proyek infrastruktur atau tambang.

“Kami lalu mencari akar masalah kenapa situasinya begini. Wilayah adat dirampas seolah kami tidak ada, padahal kami ada sebelum Indonesia merdeka.”

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut persoalan yang menimpa masyarakat adat disebabkan pembangunan yang disebutnya sangat agresif.
Keterangan gambar,Kawasan tambang ore nikel di Desa Siumbatu, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut persoalan yang menimpa masyarakat adat disebabkan pembangunan yang disebutnya sangat agresif.

Analisis AMAN menyebutkan penyebab situasi itu antara lain, karena tidak ada kepastian hukum yang menyangkut masyarakat adat.

Hak yang mengatur masyarakat adat, sambung Rukka, berhenti di UUD 1945 dan tersebar di berbagai perundang-undangan yang sektoral.

Pasal 18B UUD ’45 menyebutkan: mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Kalau ada masyarakat ada di kawasan hutan, ada aturannya. Di laut atau pesisir, beda lagi aturannya. Jadi aturan tersebar dan membuat masyarakat adat seperti dibelah-belah anggota tubuhnya.”

“Jadi tidak ada UU khusus masyarakat adat.”

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menjadi lumbung suara Aleta Baun.
Keterangan gambar,Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menjadi lumbung suara Aleta Baun.

Penyebab lain, kata Rukka, UU yang lahir sejak Indonesia merdeka digunakan untuk melegitimasi perampasan wilayah adat.

Yang dampaknya membuat masyarakat adat terusir begitu saja atas nama pembangunan dan investasi atau menjadi korban bencana.

Beranjak dari perkara itulah, AMAN memutuskan memperluas partisipasi masyarakat adat untuk masuk ke tempat-tempat pengambilan keputusan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*